Sabtu, 21 Mei 2011

konflik perang saudara di Lebanon


Konflik Perang Saudara di Lebanon
Makalah ini Sebagai Syarat Untuk Mengikuti Mata Kuliah Study Kawasan Timur Tengah
logo-uin-baru
Disusun:

Charis ma’nawi (208083000028)

JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2011
BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang Masalah
Lebanon merupakan salah satu Negara kecil di Timur Tengah dengan luas yang hanya mencapai 10.400 kilometer persegi dan mempunyai keanekaragaman budaya dan etnisitas. Berada di tepi Laut Tengah menjadikan negeri ini sebagai tempat transit arus perdagangan lintas benua, yaitu Asia, Afrika, dan Eropa. Selain itu Lebanon juga dikenal karena panorama alamnya yang menawan sehingga menarik hati para wisatawan asing untuk berkunjung ke sana. Hal itulah yang membuat perekonomian Lebanon mengalami kemajuan sejak merdeka dari Prancis pada tahun 1943.
Sayangnya kondisi semacam itu tidak berlangsung lama, Lebanon segera berubah menjadi negeri yang penuh dengan konflik bersenjata. Rakyat disana seoleh tidak ditakdirkan untuk bisa hidup tenang, aman, dan nyaman. Berbagai macam pergolakan terjadi yang tidak jarang memakan korban jiwa dan merusak infrastruktur yang ada. Salah satu konflik yang paling menyita perhatian adalah perang saudara yang terjadi dalam kurun waktu tahun 1975-1990. Sejak saat itulah Lebanon tidak lagi menjadi surganya para wisata dan berubah menjadi medan pertempuran yang seakan siap melumpuhkan siapa saja.
Yang kemudian menarik untuk dibahas lebih mendalam adalah kompleksitas konflik tersebut, mulai dari permasalahan yang terjadi didalamnya sampai pihak-pihak yang terlibat, baik langsung maupun tidak langsung. Karena jika memang murni merupakan perang saudara mengapa membutuhkan waktu yang begitu lama untuk mengakhirinya. Perang saudara yang berlangsung selama 15 tahun itu sebenarnya bukanlah peristiwa yang pertama. Sebelumnya pada tahun 1860 dan 1958 sudah pernah terjadi hal serupa tetapi keduanya hanya berlangsung selama beberapa bulan saja dan murni terjadi karena perselisihan antar sekte.
Selain itu, perang saudara di Lebanon ini menunjukkan bahwa pandangan kaum realis tradisional bahwa aktor utama dalam peperang adalah negara, tidak lagi terbukti. Perang tidak lagi terjadi antar negara (interstate) saja namun juga dapat terjadi di dalam negara (intrastate). Dalam Perang Lebanon, kita akan melihat bagaimana kelompok – kelompok di dalam negara memperjuangkan kepentingannya dengan saling menyerang satu sama lain. Prinsip saling mengalahkan dan menaklukkan, seperti yang terjadi dalam perang antar negara, diimplementasikan dalam wilayah yang lebih lebih sempit, yaitu di dalam negara itu sendiri. Paper ini bertujuan untuk melihat bagaimana perang saudara di Lebanon terjadi dimana perang ini digunakan sebagai contoh bahwa konteks perang di penghujung Perang Dingin tak hanya berkutat antar negara namun juga merambah di dalam wilayah negara.

1.2  Rumusan Masalah

·         Apasajakah factor-faktor penyebab terjadinya konflik perang saudara di Lebanon?
·         Apakah ada Intervensi dari Negara lain dan apa dampaknya dalam konflik perang saudara ini?
·         Bagaimana Penyelesaian Konflik dan adakah Peran Dunia Internasional dalam penyelesaiannya?

1.3  Kerangka Konseptual
Dalam menyusun suatu karya ilmiah dibutuhkan data-data yang sifatnya menunjang dan melengkapi pembahasan yang merupakan suatu upaya untuk menjawab apa, siapa, dimana, dan kapan. Jadi kita dikatakan merupakan upaya melaporkan apa yang terjadi.[1]
Metode yang digunakan dalam penyusunan makalah ini adalah :
1.      Metode deskritif, sebagaimana ditunjukan oleh namanya, pembahasan ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang suatu masyarakat atau kelompok orang tertentu atau gambaran tentang suatu gejala atau hubungan antara dua gejala atau lebih (Atherton dan Klemmack: 1982).

2.      Penelitian kepustakaan, yaitu Penelitian yang dilakukan melalui kepustakaan, mengumpulkan data-data dan keterangan melalui buku-buku dan bahan lainnya yang ada hubungannya dengan masalah-masalah yang diteliti.



1.4  Kerangka Teoritis

Teori adalah suatu pandangan atau persepsi tentang apa yang terjadi. Jadi berteori adalah “pekerjaan menonton”, yaitu pekerjaan mendeskripsikan apa yang terjadi, menjelaskan mengapa itu terjadi dan mungkin juga meramalkan kemungkinan berulangnya kejadian itu di masa depan.[2] Maka berkaitan dengan penulisan ini dalam menganalisa permasalahan dapat digunakan perspektif Realis. Konflik mungkin hanya didefinisikan sebagai ketidaksepakatan-ketidaksepakatan yang diusahakan penyelesaiyannya oleh berbagai pihak untuk kepuasan diri mereka sendiri. [3]Menurut definisi tersebut, konflik tidak perlu menjadi kekerasan dan tampaknya menjadi bagian yang terelakan dalam interaksi umat manusia.
Bagi  kaum realis konflik( dalam konteks HI,peny), konflik yang menarik adalah jenis tertentu konflik anatara Negara yang bercirikan kekerasan; biasanya adalah -tetapi tidak selalu- peperangan.[4]
Dengan kerangka pikir yang demikian, kaum realis membatasi perhatian mereka pada penyebab dan karakteristik peperangan. Ada beberapa perbedaan pendapat mengenai penempatarn atau pengaplikasian focus jika kita sedang membicarakan tentang penyebab-penyebab yang lebih umum  daripada penyebab-penyebab khusus. Diantaranya adalah berkonsentrasi pada karakteristik umat manusia; focus kepada Negara, dan cenderung menyalahkan system internasional secara keseluruhan atas konflik yang terjadi.ketiga pendapat tersebut layak di[pertimbangkan.







BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Pengertian Elemen-elemen Konflik
Konflik adalah suatu bentuk hubungan interaksi seseorang dengan orang lain atau suatu kelompok dengan kelompok lain, dimana masing-masing pihak secara sadar, berkemauan, berpeluang dan berkemampuan saling melakukan tindakan untuk mempertentangkan suatu isu yang diangkat dan dipermasalahkan antara yang satu dengan yang lain berdasarkan alasan tertentu.
Konflik berasal dari kata kerja latin configure yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Definisi dari konflik adalah :
1.      Suatu kondisi dimana tujuan, kebutuhan dan nilai-nilai kelompok yang bersaing, bertabrakan dan akibatnya terjadilah agrasi walaupun belum tentu berbentuk kekerasan (schelling).
2.      Situasi yang terjadi ketika ada perbedaan pendapat atau perbedaan cara pandang diantara beberapa orang, kelompok atau organisasi.
3.      Sikap saling memperthankan diri sekurang-kurangnya diantara dua kelompok yaitu memiliki tujuan dan pandangan berbeda dalam upaya mencapai tujuan sehingga mereka berada dalam posisi oposisi bukan kerjasama.
Konteks konflik meliputi :
Konflik domestik : isu utamanya adalah suatu kondisi dimana terdapat masalah-masalah antara pemegang kekuasaan dengan penantangnya yang diselesaikan dengan cara damai.
Konflik regional : isu utama menekankan proses negosiasi dan hubungan antara negara tetangga. Bentuk hubungan bisa bersifat cooperative, competitive, dan transforming.
Konflik internasional : isunya sama dengan konflik regional tetapi cakupannya lebih luas.
Konflik dapat menjadi alat yang efektif dalam percaturan internasional. Ia dapat mengemban fungsi sebagai upaya untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuatan (power), memelihara kohesifitas internal dan memeperluas hubungan ke luar. Kekerasan seringkali merupakan alat yang ampuh untuk bargaining position. Meskipun demikian penyelesaian konflik selalu merupakan tujuan yang secara politik paling diharapkan, karena hal itu mengurangi korban jiwa manusia, mencegah disorganisasi suatu bangsa dan memulihkan stabilitas dalam hubungan luar negeri mereka. Penyelesaian konflik (conflict resolution) adalah suatu jalan menuju perdamaian, sekurang-kurangnya perdamaian negative, dan mempunyai fungsi lain, misalnya menjamin stabilitas politik dan kesinambungan pembangunan sosial maupun ekonomi.
Penyelesaian konflik (conflict resolution) didefinisikan sebagai suatu proses mencari peluang penyelesaian konflik dimana setiap pelaku tidak lagi merasa perlunya melanjutkan perselisihan dan mengakui bahwa dengan begitu mungkin mereka dapat memperoleh keuntungan tertentu. (nicolson, 1991: h. 59).
Definisi lain mengatakan bahwa penyelesaian konflik adalah suatu proses yang berkaitan dengan bagaimana menemukan jalan untuk mengakomodasi kepentingan eksplisit dari pihak-pihak yang terlibat dalam sengketa.
Para pakar teori telah mengklaim bahwa pihak-pihak yang berkonflik dapat menghasilkan respon terhadap konflik menurut sebuah skema dua dimensi, pengertian terhadap hasil tujuan kita dan pengertian terhadap hasil tujuan pihak lainnya. Skema ini akan menghasilkan hipotesa sebagai berikut :
1.      Pengertian yang tinggi untuk hasil kedua belah pihak akan menghasilkan percobaan untuk mencari jalan keluar yang terbaik.
2.      Pengertian yang tinggi untuk hasil kita sendiri hanya akan menghasilkan percobaan untuk “memenangkan” konflik.
3.      Pengertian yang tinggi untuk hasil pihak lain hanya akan menghasilkan percobaan yang memberikan “kemenangan” konflik bagi pihak tersebut.
Tidak ada pengertian untuk kedua belah pihak akan menghasilkan percobaan untuk menghindari konflik.
2.2  Sejarah awal Lebanon sebelum Pecahnya Perang Saudara
Lebanon merupakan sebuah negara yang terdiri dari masyarakat yang heterogen, terutama dari segi agama yang dianut. Ada dua agama besar di sana, yaitu Kristen dan Islam, dimana keduanya masih terbagi ke dalam beberapa kelompok sekterian. Seperti Kristen yang terbagi dalam kelompok Kristen Maronit, Kristen Yunani Katolik dan Latin, Kristen Armenia Katolik, Kristen Yunani Ortodoks, dan Kristen Armenia Ortodoks. Sedangkan umat Islam mencakup Muslim Sunni, Syiah, dan Drus. Muslim Drus sebenarnya bukan Islam murni karena di dalam ajarannya juga menggabungkan ajaran dari agama Kristen.
Namun tidak seperti negara-negara Arab lainnya yang mayoitas penduduknya Muslim, Lebanon pasca lepas dari Prancis pada tahun 1943 mempunyai penduduk yang mayoritas penganut Kristen dan diperintah oleh seorang yang berasal dari kelompok tersebut. Orang-orang Maronit pada umumnya mendiami daerah pegunungan, sedangkan kaum Islam Sunni penempati daerah-daerah di tepi pantai dan kelompok Syiah menetap di wilayah Lebanon Selatan. Ketika akan merdeka kelompok Kristen menginginkan adanya penbatasan hubungan dengan negara-negara Arab dan lebih mengakrabkan diri dengan nagara-negara barat, sebaliknya kaum Muslim justru ingin lebih dekat dengan kehidupan politik Arab. Tetapi Prancis sebagai pihak yang memegang kekuasaan atas Lebanon pada masa itu menghendaki penggabungan antara daerah pegunungan dan daerah pantai di bawah satu bendara negara Lebanon. Sehingga mau tidak mau kedua kubu harus mampu berkompromi agar didapatkan jalan tengah yang terbaik. Kedua belah pihak akhirnya setuju untuk hidup dalam satu wilayah negara dan akan membela kemerdekaan negaranya serta melupakan keinginan untuk terlalu dekat atau bahkan menjadi bagian dari negara lain di dunia ini.
2.3  factor-faktor penyebab terjadinya konflik
Jika dilihat dari akar permasalahannya ada tiga faktor yang menjadi penyebab awal terjadinya perang, yaitu masalah pembagian kekuasaan, ketimpangan sosial-ekonomi, dan kedatangan para pengungsi Palestina. Pertama adalah masalah pembagian kekuasaan yang dianggap tidak adil. Ketika Lebanon memperoleh kemerdekaan dari Prancis pada tanggal 22 November 1943 dibuatlah sebuah perjanjian yang menjadi dasar struktur politik negara itu, yaitu Pakta Nasional (Al-Mitsaq Al-Wathani). Dalam pakta tersebut kekuasaan politik penting dalam pemerintahan didistribusikan dengan ratio 6:5. sesuai pakata tersebut disepakati bahwa presiden dijabat oleh orang Kristen Maronit, perdana menteri berasal dari golongan Sunni, dan kepala parlemen berasal dari Syi’ah. Untuk komposisi anggota parlemen sendiri terdiri dari 30 orang wakil berasal dari Maronit, 20 orang dari Sunni, 19 orang dari Syiah, 11 orang Yunani Ortodoks, 6 orang dari Druze, 6 orang dari Yunani Katolik, 5 orang dari Armenia Ortodoks, dan masing-masing 1 0rang wakil dari Armenia Katolik dan Protestan.  Pakta tersebut dibuat berdasarkan sensus penduduk tahun 1932 yang menempatkan Kristen Maronit sebagai kelompok mayoritas, yaitu sebanyak 30% dari seluruh penduduk Lebanon. Oleh karena itulah kemudian kelompok ini menjadi dominant, baik dalam pemerintahan maupun parlemen.
Pada awalnya perjanjian tersebut tampak menjanjikan suatu kondisi yang stabil bagi Lebanon, tetapi ternyata tidak. Pertama karena persetujuan tersebut merupakan perjanjian tidak tertulis sehingga mengikat pihak-pihak di dalamnya. Kedua adalah campur tangan Prancis dalam proses pembuatannya yang membuat penerimaan terhadap pakta tersebut bukanlah murni dari kesadaran masing-masing pihak tetapi ada unsur keterpaksaan. Golongan Islam yang merasa dirugikan dengan pembagian seperti itu menginginkan adanya perubahan dalam system politik Lebanon. Salah satunya dengan mengadakan sensus ulang sehingga sistem politik tidak berkiblat pada Pakta Nasional yang dibuat berdasarkan sensus penduduk tahun 1932. Namun usulan tersebut ditolak oleh kaum Maronit mengingat kondisi demografis Lebanon dari tahun ke tahun telah mengalami perubahan dan jika diadakan sensus ulang maka akan mengancam posisi dominan mereka. Disinilah kemudian muncul perbedaan antara Kristen Maronit yang ingin mempertahankan status quo dengan kelompok Islam yang menghendaki dilakukannya perubahan.
Kelompok Maronit kemudian mengusulkan sebuah penawaran dimana perimbangan kekuatan di parleman yang tadinya menggunakan rasio 6:5 akan diubah menjadi 5:5 dengan catatan yang menjabat sebagai presiden harus tetap berasal dari Maronit. Usulan tersebut mendapat dukungan dari kelmpok Kristen lainnya, tetapi ditolak oleh kaum Muslim. Sebab dengan komposisi seperti itu golongan Maronit tetap akan muncul sebagai pihak yang dominan.
Penyebab yang kedua adalah terjadinya ketimpangan di bidang sosial ekonomi. Orang-orang yang memperolah manfaat dari kemajuan ekonomi Lebanon dan hidup dalam kemakmuran dan kemewahan pada umumnya berasal dari kelompok Kristen. Sementara kaum Muslim harus berjuang lebih keras untuk mampu bertahan hidup ditengah himpitan kemiskinan. Mungkin pihak yang harus bertanggung jawab atas hal ini adalah Prancis karena ketika masih berkuasa di Lebanon negara Eropa ini lebih memperhatikan kondisi kelompok Kristen, terutama Kristen Maronit. Mereka diberi kesempatan lebih untuk dapat memperoleh pendidikan yang baik sehingga muncul sebagai golongan terpelajar dan mampu memegang kendali di bidang ekonomi. Kesempatan yang tidak dimiliki oleh kaum Muslim sehingga membuat mereka justru menjadi korban dari kemajuan ekonomi Lebanon.
Kondisi itu semakin diperparah dengan sistem ekonomi liberal yang dianut oleh Lebanon. Negara tidak banyak ikut campur bidang ekonomi dan menyerahkannya kepada mekanisme pasar. Hal itu tentu saja membuat kaum pemilik modal dapat mengontrol jalannya laju perekonomian sekehendak hati dan meminggirkan nasib orang-orang tidak mampu. Keinginan kaum miskin yang menghendaki adanya persamaan hak dibidang ekonomi tentu saja ditolak oleh kaum elit yang sudah sangat nyaman dengan kehidupan mereka.
Faktor lainnya berasal dari kedatangan para pengungsi Palestina ke Lebanon akibat Perang Arab-Israel. Kehadiran mereka di tanah Lebanon membuat komposisi kaum Muslim semakin bertambah banyak. Sampai tahun 1980-an jumlah mereka diperkirakan sudah mencapai 300.000 orang yang pada umumnya menetap di wilayah Lebanon Selatan. Jumlah tersebut hampir mencapai 10% dari jumlah keseluruhan pendududk di Lebanon. Keadaan ini membuat kaum Maronit merasa terancam karena berpotensi menganggu pembagian kekuasaan antara Kristen dengan Islam sehingga menolak usulan diadakannya sensus ulang sebagai dasar pembuatan system politik yang baru. Mereka sadar bahwa keberadaan orang-orang Palestina di Lebanon mendapat perlindungan dari PBB, sehingga mustahil untuk mengusir orang-orang itu keluar Lebanon. Sementara kaum Muslim menerima kedatangan pengungsi Palestina dengan tangan terbuka, selain karena alasan solidaritas agama keberadaan mereka semakin memperbanyak jumlah kaum Muslim guna mengimbangi komposisi kaum Kristen.
2.4  Intervensi negara-negara lain dan dampaknya dalam konflik perang saudara  Lebanon
Perang Lebanon merupakan perang yang unik. Konflik ini tidak hanya melibatkan kelompok – kelompok internal Lebanon sendiri namun juga pihak asing seperti Suriah dan Israel. Masing masing pihak memiliki motif mengapa mereka terlibat perang. Secara umum, kelompok kiri di Lebanon menuntut perubahan sistem politik dan sosial di Lebanon dimana sebelumnya sangat didominasi kelompok Kristen. Sedangkan kelompok kanan memiliki motif untuk tetap mempertahankan kekuasaannya dan menumbuhkan stabilitas di Lebanon. Keterlibatan Suriah awalnya karena ditugaskan menjadi penjaga perdamaian namun belakangan disinyalir keberadaan Suriah di Lebanon disebabkan oleh ambisi pribadi presiden Assad untuk mendirikan ’The Greater Syiria’ yang wilayahnya mencakup Suriah dan Lebanon. Israel memasuki medan pertempuran Lebanon dengan alasan mengejar milisi – milisi Palestina. Milisi Palestina ini dianggap mengganggu stabilitas Israel karena mereka menyerang Israel dari wilayah perbatasan Lebanon dengan Israel (Lebanon selatan).
Awal mula munculnya perang dipicu oleh peristiwa penembakan yang dilakukan oleh milisi partai Khataib yaitu LAF (Lebanese Armed Forces) terhadap pengikut PFLP-GC (Popular Front for the Liberation of Palestine – General Command) yang kemudian memicu kemarahan kelompok milisi Palestina yang didukung oleh kelompok kiri. Pergolakan pun terjadi di jalan – jalan ibukota Lebanon antara kelompok Kanan (yang didominasi Kristen) dengan kelompok kiri (yang didominasi Islam).
Di tahun 1976, aktor perang bertambah dengan masuknya tentara Suriah ke Lebanon yang dilegitimasi oleh KTT Liga Arab. Hasil dari KTT tersebut adalah membentuk pasukan perdamaian Arab yang terdiri dari tentara Suriah, Arab Saudi dan Libya dengan nama ADF (Arab Deterrant Forces). Namun demikian, konflik di Lebanon tidak semakin mudah untuk diselesaikan namun menjadi semakin rumit. Beberapa pihak tidak sepakat dengan keberadaan Suriah yang pada awal keberadaannya di Lebanon mendukung kelompok kanan. Tahun 1978, Israel yang merasa terancam dengan keberadaan milisi Palestina di wilayah Lebanon selatan memutuskan untuk melakukan invasi ke wilayah Lebanon dengan tujuan utama menyerang milisi Palestina. 
Tahun 1980 perang saudara di Lebanon tidak lagi antara kaum Kristen dengan kaum Muslim saja, tapi berkembang menjadi sesama Kristen dan Muslim. Ini terjadi ketika Amal Movements (kelompok syiah militan) berkonflik dengan faksi Fatah (salah satu bagian dari PLO) dan ketika milisi Khataib terlibat bentrokan senjata dengan milisi National Liberation Front. Pada kisaran tahun yang sama, konstelasi perang saudara berubah menjadi perang antar negara (Israel – Suriah) yang menggunakan wilayah negara lain (Lebanon). Suriah yang awalnya mendukung kaum Kristen Maronite mengubah dukungannya kepada kaum Islam. Sedangkan kaum Kristen memilih untuk berafiliasi dengan Israel. Dasar kerjasama ini cenderung pragmatis. Israel dan milisi Kristen berkeinginan untuk menghancurkan PLO dan mendepak Suriah keluar dari Lebanon. Dengan alasan itu, tahun 1982, LF dan tentara Israel melakukan pembantaian terhadap 1000 orang pengungsi Pelestina di kamp Shabra dan Shatila.
Tahun 1985, kelompok – kelompok Islam kembali terpecah. Di tahun yang sama pula, afiliasi kelompok Kristen terutama kelompok Khataib terhadap Israel mulai memudar dan tergantikan oleh Suriah. Dua pemimpin Khataib, Elie Hobieka dan Samir Geagea mulai menjalin hubungan dengan Suriah. Tindakan ini dilakukan karena mereka menyadari bahwa Lebanon harus kembali ke pangkuan negara – negara Arab, bukan kepada Israel yang jelas – jelas merupakan seteru negara – negara Arab. Pada tahun ini, peta koalisi kembali berubah.
Pada tahun 1987 situasi di Lebanon semakin mencekam. Keadaan ini dipicu oleh kelompok Amal yang melakukan serangan terhadap kelompok Hizbullah serta terhadap milisi Palestina. Atas dasar kondisi ini pemerintah Lebanon meminta bantuan Suriah untuk meredakan ketegangan di Lebanon. Sementara itu di tengah kondisi yang tidak stabil, pemerintah harus segera mengadakan pemilihan presiden karena pada tahun 1988 masa jabatan presiden Amin Gemayel akan segera selesai.
Pada kenyataannya pemerintahan Amin Gemayel tidak mampu menyelenggarakan pemilu karena konlik Lebanon yang semakin rumit. Suriah yang memiliki pengaruh kuat di pemerintahan mendukung kandidat presiden yang tidak disetujui oleh beberapa kalangan termasuk oleh Amerika Serikat yang kala itu juga memiliki pengaruh di Lebanon. Karena waktu yang dimiliki oleh presiden Amin Gemayel semakin terbatas, ia mengambil kebijakan untuk mengangkat jenderal Michel Aoun, seorang nasionalis menjadi pejabat pemerintah sementara dengan tugas menyelenggarakan pemilu secepatnya. Namun pemerintahan ini ditentang oleh perdana menteri Salim Hoss yang mengakibatkan konlik terbuka antara angkatan bersenata yang mendukung pemerintah Salim Hoss dengan angkatan bersenjata yang mendukung pemerintah Michel Aoun
Pemerintah Michel Aoun juga banyak ditentang oleh pihak-pihak yang berkepentingan di Lebanon seperi Suriah, Israel dan Amerika Serikat. Hal ini disebabkan pemikiran Aoun yang ingin mendirikan negara Lebanon ynag berdaulat dan lepas dari pen garuh asing. Pemikiran nasionalis Aoun ini tidak mendapatkan banyak dukungan dari rakyat Lebanon karena pada kenyataanya banyak kelompok yang menjalin hubungan dengan Suriah, Israel maupun Iran. Sementara itu, pemerintahan Aoun juga mendapat tentangan dari milisi LAF yang didukung oleh Suriah.
2.5  Penyelesaian Konflik dan Peran Dunia Internasional
Tahun 1989, anggota parlemen Lebanon mengadakan perundingan di Ta’if, Arab Saudi yang menghasilkan Ta’if Accord. Namun kesepakatan itu ditolak oleh Aoun. Tahun 1990 Suriah mendapatkan legitimasi untuk menyerang Jendral Aoun. Akhirnya pemerintahan Aoun jatuh dan ia melarikan diri ke Prancis.
Ta’if Accord berisi kesepakatan yang dibentuk oleh kelompok-kelompok yang bertikai di Lebanon. Secara garis besar, persetujuan ini berisi tentang sistem politik dan kedaulatan Lebanon. Kelompok-kelompok yang menyepakati persetujuan ini bermaksud untuk membentuk negara yang berdaulat dan mengakhiri konflik panjang yang terjadi diantara kelompok-kelompok di Lebanon. Solusi yang paling tepat untuk mengatasi perang Lebanon adalah dengan membuat sebuah rancangan sistem politik baru. Sistem politik tersebut diharapkan dapat memperbaiki keadaan ekonomi, membangun kembali infrastruktur yang talah rusak karena perang dan mengembangkan kapasitas domestik untuk menghadapi perkembangan kondisi regional dan internasional.
Ta’if Accord, pada praktiknya, sangat efektif untuk mengakhiri perang di Lebanon tetapi tidak cukup efektif untuk membangun kembali sistem politik Lebanon. Akibatnya persetujuan ini hanya berorientasi proses penyelesaian perang, bukan hasil akhirnya. Pada dasarnya, tujuan utama dari persetujuan ini ialah untuk membangun identitas Arab bagi masyarakat Lebanon, yang kedua menyatakan bahwa Lebanon merupakan suatu kesatuan. Ketiga, persetujuan ini menetapkan sistem politik Lebanon berdasarkan prinsip demokrasi parlementer, yang didasarkan pada pemisahan kekuasaan, keseimbangan dan kerjasama antara eksekutif, legislatif dan yudikatif. Keempat, persetujuan ini mendefinisikan sebuah sistem sosial ekonomi yang menjamin kebebasan individu dan pengakuan hak milik pribadi. Kelima, persetujuan ini menyatakan penghapusan politik sektarian.
Ta’if Accord, secara jangka pendek berhasil untuk meredam konflik dan menciptakan stabilitas di Lebanon. Namun efektifitas jangka panjang dalam menyelesaikan konflik perlu dipertanyakan. Kenyataannya, setelah Ta’if Agreement masih ada beberapa pihak yang terlibat konflik meskipun tidak berkembang menjadi konflik yang besar.

KESIMPULAN
Ditinjau dari penyebabnya, perang Lebanon secara sederhana dapat disimpulkan menjadi tiga. Pertama karena ada sebagian kelompok yang tidak puas dengan Pakta Nasional tahun 1943. Hasil dari pakta nasional dianggap terlalu menguntunkan pihak Maronite sehingga kalangan muslim menuntut adanya perubahan. Kedua karena kesenjangan  sosial ekonomi yang tajam. Kesenjangan ini timbul karena kaum Maronite lebih diprioritaskan dalam memperoleh akses pendidikan, ekonomi dan lain – lain. Ketiga, kehadiran orang Palestina di Lebanon yang menubah struktur demografis masyarakat Lebanon.
            Konflik ini terjadi selama 15 tahun berawal dari tahun 1975 dan berakhir tahun 1990 ketika masing – masing kelompok sepakat untuk berunding dan menghasilkan kesepakatan yang dikenal sebagai Taif Accord. Taif accord di satu sisi mampu meredam konflik antar kelompok dan berhasil menciptakan stabilitas sosial ekonomi, namun di sisi lain Taif accord dianggap tidak menyelesaikan masalah hingga ke akarnya. Dengan kata lain, Lebanon masih memiliki potensi konflik yang cukup besar pasca Taif Accord.



Daftar Pustaka

·         Mochtar Mos’eod, Ilmu Hubungan Internasional, Disiplin, dan Metodologi, (Jakarta: LP3ES, 1990).
·         Dipoyono, Kirdi. Timur Tengah dalam Pergolakan. Jakarta : CSIS, 1977.
·         Sihbudi, M. Riza. Bara Timar Tengah. Bandung : Mizan, 1991
·         Jill steens dan Lloydy Pettiford. Hubungan Internasional Perspektif da Tema.(Pustaka Pelajar: Jakarta, 2009).
·         Soemanagara, Syam dan R. Dermawan Soemanagara. Perang Saudara Lebanon 1975 – 1990. Bandung : Rizqi offset, 2002.




[1] Mochtar Mos’eod, Ilmu Hubungan Internasional, Disiplin, dan Metodologi, (Jakarta: LP3ES, 1990), hal. 7.

[2]Ibid hal. 185
[3] Jill steens dan Lloydy Pettiford. Hubungan Internasional Perspektif da Tema.(Pustaka Pelajar: Jakarta, 2009), hal 66
[4] Ibid hal 67.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar