Sabtu, 21 Mei 2011

Isu Global Kontemporer


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Hubungan antar bangsa akan terus mengalami proses perkembangan secara berkesinambungan dengan munculnya berbagai isu (politik) baru, yang pada hakikatnya merupakan pemikiran manusia yang selalu berkeinginan memberdayakan kemampuan mengolah daya fikir menghadapi kondisi sosial-politik-kultural. Kemajuan suatu ilmu serta teknologi yang mulai merambah dan berkembang di dunia ini mulai mempengaruhi suatu lingkup pada masing-masing wilayah. Wilayah yang dimaksudkan di sini adalah wilayah yang berhubungan antara negara satu dengan negara lainnya yang dapat disebut dengan interstate relations. Dikatakan demikian, karena masing masing memiliki suatu efisiensi dan interaksi yang saling berkaitan, baik didalam bidang ekonomi, perdagangan, teknologi, politik, sosial budaya dan lainnya. Kemudian ketika interaksi mulai terbentuk di lingkungan internasional maka terbentuklah adanya suatu ikatan atau hubungan antar negara yang pastinya akan menimbulkan isu isu baru di kancah politik global.
Memperhatikan isu politik (global) dunia  yang berkembang pada dewasa ini, dapat dibagi dalam tiga pokok permasalahan yang menjadi perhatian atau keprihatinan dunia: pertama, yang merupakan tantangan (challenge) terhadap kewenangan Negara, seperti masalah keamanan (security), demokratisasi, konflik etnik, asylum dan terorisme dan lain-lain; kedua, masalah yang berkaitan dengan  isu etis, dan normatif, misalnya tentang hak asasi manusia, agama, gender, hutang negara, dan moralitas dalam hubunga internasional; ketiga, yang merupakan isu praktis yang berhubungan dengan kepentingan kehidupan manusia, seperti: kesehatan, lingkungan hidup, olahraga, teknologi, perdagangan dan  lain-lain.[1]
Akibatnya, pergeseran nilai tersebut memunculkan berbagai isu global yang kemudian dijadikan isu politik melalui interaksi hubungan antarnegara, baik melalui forum bilateral maupun multilateral. Pegeseran nilai tersebut telah menghasilkan berbagai isu baru di dunia internasional dengan tanpa merubah status politik dan tatanan negara besar walupun itu masih menimbulkan dilema dan paradigma yang  spekulatif.
Pergeseran dari munculnya paradigma yang berkembang sejak PD I dan II dan khususnya pasca Perang dingin kembali  melahirkan sebuah diskursus baru dalam politik internasional. Dengan beralihnya isu keamanan global, dimensi keamanan menjadi kembali diangkat. “Ancaman” (threat) yang menjadi basis dari keamanan kini tidak lagi berkutat hanya pada persoalan keamanan persenjataan atau militer. “Ancaman” bisa berarti wabah penyakit, human trafficking[2], narkotika, perdagangan senjata[3], kemiskinan, buta huruf, virus menular, atau sejenisnya yang dirasakan oleh warga-negara, bukan negara itu sendiri.[4] Namun, pada perkembangannya isu tersebut telah bereskalasi kembali menjadi isu semi-konvensional seperti perang dan invasi, khususnya setelah tragedi 11/9 yang kemudian memunculkan reaksi yang terkesan berlebihan dari AS ke negara-negara lain khususnya negara timur tengah.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Perang dan Penggunaan Kekuatan (Use Of Force ) di Dunia Kontemporer
Sesuai dengan perkembangannya, manusia selalu bergerak dinamis sesuai dengan dimensi yang ada dan selalu berkembang dengan interaksi satu sama lain. Perkembangan kehidupan sosial masyarakat memiliki beberpa dimensi mulai dari pertanian, ekonomi, pendidikan, religiusitas, reksreasi, industri, politik serta pemerintahan yang kesemuanya memiliki timbal balik antar interaksi yang telah dibangun.[5] Wajar bila kemudian fenomena internasional seringkali tidak lepas dari yang namanya peran—dan di belakangnya—adalah AS sebagai aktor dari isu konvensional (perang dan damai) yang selalu dominan dalam perkembangannya.
Dalam konteks ini, perang pasti menyiratkan penggunaan kekuatan atau tindakan kekerasan; keduanya tidak saling eksklusif. Namun kekerasan bukan perang kecuali dilakukan dalam nama sebuah entitas politik dan selanjutnya diarahkan terhadap entitas politik yang lain yang sama. Pertama,  dalam arti kontemporer yang paling umum, perang adalah "setiap kekerasan diatur antara entitas politik yang berbeda tetapi mirip". Kedua,   dalam konteks sistem internasional, ini "entitas politik yang berbeda tetapi mirip" adalah negara-negara berdaulat. Sistem negara-negara berdaulat, karena dunia saat ini dibentuk oleh sebuah kekuatan dan kelemahan: kekuatan karena sistem, dalam contoh pertama, menjunjung tinggi hak-hak kedaulatan negara dan kelemahan negara lain, sistem itu sendiri meninggalkan opsi perang sangat banyak di atas kebijaksanaan atau, lebih tepatnya, ketidakbijaksanaan negara berdaulat.[6]
Kemudian, perang telah berbentuk dan kembali membentuk dunia menjadi seperti sekarang ini. Perang, akan relevan dalam dunia kontemporer, telah menjadi instrumen kebijakan untuk dilakukan hanya jika memenuhi kriteria rasionalitas. Setelah itu, perang sebagai pilihan kebijakan sekarang, karena kehancuran yang besar dan perubahan iklim internasional tampaknya kurang berguna. Sisi lain adalah perang yang telah menjadi instrumen kebijakan yang lebih rasional sejak sekarang, lebih dari itu, keputusan tentang apakah berperang harus ditimbang lebih ketat terhadap kriteria rasionalitas..?

B.     AS dan Perang Iraq[7] 2003-07: Sebuah Studi Kasus
Pada tanggal 20 Maret 2003, AS memimpin pasukan koalisi menyerbu Irak dengan tujuan menemukan dan melucuti senjata Irak yang dicurigai sebagai senjata pemusnah massal (WMD)[8]. Kekuatan koalisi melakukan kampanye sangat cepat dan sukses yang menyebabkan runtuhnya Baghdad, serta  penangkapan dan penyerahan angkatan bersenjata Irak. Presiden George W. Bush[9] mengumumkan scara resmi operasi besar pada 2 Mei 2003. [10]Sementara korban selama fase pertempuran konvensional secara historis sudah dianggap tidak pas dengan gaya perang modern. Pertempuran dengan cepat berkembang menjadi sebuah pemberontakan gerilya dan serangan teroris terhadap pasukan koalisi dan penduduk sipil Irak. Pada musim semi tahun 2007 koalisi telah menderita sekitar 3.500 kematian dan 24.000 luka-luka. Perkiraan kematian yang berkaitan dengan perang Irak total berkisar dari perkiraan 60.000 mencapai angka maksimum 650.000.
Perang Irak menggambarkan sejumlah tema yang telah menonjol dalam diskusi mengenai kemungkinan pembangunan masa depan perang. Kemenangan koalisi atas angkatan bersenjata Irak oleh keunggulan teknologi senjata utama dan sistem informasi dari angkatan Amerika Serikat, menunjukkan bahwa sebuah proses revolusi sedang berlangsung  yang digunakan oleh pasukan Amerika itu juga penting. Kesuksesan sekutu tidak hanya karena faktor keunggulan teknologi, tetapi juga doktrin operasional yang  manuver-oriented. Kemenangan cepat dan relatif lebih sedikit korban  untuk pasukan yang dipimpin Amerika (menurut persepsi mereka) memperkuat pandangan strategis bahwa di lingkungan pasca-perang dingin, ada beberapa hambatan pada penggunaan kekuatan oleh Amerika Serikat.
Dengan trauma terhadap perang Vietnam, perang menjadi cepat, dan terjangkau bagi Amerika Serikat, serta berakhirnya perang dingin telah memunculkan ancaman konflik regional meningkat menjadi sebuah ancama nuklir dengan munculnya aktor lain. Fitur utama dari konflik adalah dominasi Amerika,  perang informasi, baik dalam arti kemampuan militer untuk menggunakan sistem satelit pengintai, komunikasi, dan target senjata, dan dimensi post-modern telah  manipulasi media komunikasi sipil dan global dengan citra perang untuk menghasilkan pemahaman pertempuran internasional yang mencerminkan apa yang pemerintah AS sebagai harapan dan keinginan kepada  dunia internasional.
Namun, konflik tidak berakhir dengan menyerahnya pasukan Irak, karena pada gilirannya, beberapa argumen dari pendukung tesis ' perang post-modern (post-modern war).[11]' dan 'perang baru (new war)’[12] telah mengindikasikan adanya suatu perkembangan baru yang diakibatkan perang Irak 2003-07 baik dalam bentuk tindakan maupun dominasi wacana baru. Kemampuan untuk beroperasi menggunakan jaringan informal militer yang kompleks diperbolehkan dalam pemberontakan untuk melakukan perang asimetris yang memliki makna ketidakseimnbangan baik secara militer dan teknologi, seperti keunggulan yang luar biasa dari teknologi militer AS. Selain itu, para pemberontak mampu menggunakan media global untuk memanipulasi persepsi dari karakter serta implikasi dari strategi terorisme terhadap proses destabilisasi bagi tatanan dunia.

C.    Antara Kepentingan dan  Kebijakan Luar Negeri AS; Memahami kerangka kebijakan luar negeri AS
Kebijakan lua negeri AS sering dibicarakan dalam lingkup ketegangan dialektik antara dua pola yang berlawanan: pragmatisme–realis dan legalisme-moralisme. Atau dengan kata lain, kebijakan luar negeri AS mondar mandir antara politik riil dan moralisme. Bagi para pendukung dan praktisinya, realism adalah sebuah pemahaman yang tertib, jernih, dan tegas tentang perumusan kebijakan yang didasarkan pada kepentingan negara yang didefinisikan dengan baik. Esensi realisme ini adalah kepentingan nasional yang terkait erat dengan keamanan nasional.[13] Selain itu, banyaknya pengaruh dalam negeri AS mampu menggerakkan kebijkan AS kea rah yang berlawanan pada saat yang sama. Pengaruh-pengaruh ini termasuk opini masyarakat, pers, kelompok-kelompok kepentingan swasta, program-program akademis untuk pembuatan kebijkan, kelompok-kelompok pemikir (think tank), Kongres, dan lembaga-lembaga lainnya. Kebijakan luar negeri AS adalah produk sebuah spektrum menyeluruh dari realitas-realitas politik dalam negeri.
Adapun Hal – hal yang dapat menjadi sesuatu yang efektif untuk terjadinya perang antara lain adalah resources (sumber daya), territorial (wilayah), influence (pengaruh), dan juga power (kekuasaan).[14] Dalam konteks perang Iraq, seperti pembahasan faktor penyebab di atas, invasi Amerika selain global on terrorist salah satunya disebabkan oleh Sumber daya minyak yang dimiliki Iraq. Ketakutan Amerika akan habisnya persediaan minyak dunia memicu negara adi daya ini untuk mencari sumber baru yang produktif.[15]
Tendensi ideologis juga menjadi isu penting dalam perang mulai sejak beberapa abad yang lalu hingga saat ini, ideologi demokrasi yang diperjuangka oleh AS juga dapat menjadi ancaman bagi Negara yang tidak  habbit[16]  dengan ideologi atau sistem demokrasi ala barat. Si samping itu, akibat tidak adanya peran organisasi internasional dalam menanggapi konflik yang terjadi merupakan faktor penyebab perang yang terjadi, sehingga konflik seperti dibiarkan terjadi. Amerika Serikat sebagai negara adi daya memiliki kemampuan untuk tidak mengindahkan peran dari Organisasi Internasional. Bahkan organisasi internasional merupakan kendaraan politiknya untuk mencapai kepentingan nasional AS. Kecaman dunia internasional tidak bisa secara efektif mempengaruhi kebijakan perang yang didengungkan oleh Amerika.
Faktor lainnya yang memiliki korelasi dengan perang Iraq adalah kapabilitas negeri 1001 malam ini dalam memproduksi senjata pemusnah massal (Weapon Mass Destruction). Ditambah laporan CIA yang menyebutkan bahwa Iraq memiliki stock nuklir. Hubungan yang erat antara Iraq dengan Al-Qaeda menjadi perhatian tersendiri bagi Amerika, ketakutan Amerika akan tersebarnya WMD Iraq ketangan para teroris terutama Al-Qaeda membuat negeri Paman Sam ini secara intensif memperhatikan perkembangan Iraq hingga dibuatnya keputusan pada tahun 2003 untuk menginvasi negara yang saat itu dikuasai oleh Saddam Husain.[17]
Merupakan suatu hal yang wajib ada ketika terjadi perang. Contohnya adalah adanya persenjataan yang lengkap ataupun adanya dorongan dari negara lain yang membantu jika perang terjadi. Penyebab ini terkait dengan perdangan senjata illegal. Dibalik kepentingan minyak dan lainnya, perdagangan senjata mendatangkan keuntungan bagi kalangan tertentu, dan tentunya kaum Hawkish yang sangat radikal dan mendukung langkah militer guna kepentingan mereka.[18]
Penggunaan kekuatan militer oleh aktor negara tidak hanya terbatas pada masa perang saja. Sekurang-kurangnya ada ada empat fungsi kekuatan militer dalam politik internasional. Pertama, kekuatan militer diproyeksikan sebagai prestige power di mana suatu negara menunjukkan keunggulan militernya melalui penguasaan teknologi baru dengan daya penghancur yang dapat menggetarkan lawan. Kedua, kekuatan militer digunakan sebagai detteren power atau kekuatan penangkal, yaitu Negara meyakinkan lawannya tentang konsekuensi yang akan dihadapi bila bertindak tidak diinginkan. Ketiga, kekuatan meliter dibangun sebagai kekuatan difensif (defensive power) dengan tujuan untuk melindungi diri dari musuh. Keempat, kekuatan militer digunaka sebagai alat pemaksa (coercive power) atau compellent power untuk menekan suatu negara mengikuti keinginan dari negara yang menekan.[19]
Ada catatan sederhana ketika menilik kasus di atas yaitu dalam mencapai kepentingan nasionalnya negara (dalam hal ini AS) cenderung mengabaikan mengabaikan cara-cara militer dewasa ini. Cara militer yang bernuansa ancaman dan tekanan pada dasarnya bukan lagi menjadi tren yang baik dalam era globalisasi. Karena pada kasus ini, tindakantindakan yang telah dilakuan oleh AS dan sekutunya telah mengendapkan kerjasana, kompromi tawar-menawar, dan persaingan sehat,[20] sebagaimana yang telah dielu-elukan oleh masyarakat internasional dan tatanan internasional umumnya. maka hal inilah yang pada gilirannya telah menjadi kata kunci bagi proses pergeseran isu kontemporer AS menjadi ke arah semi-konvensional dengan instrumental penggunaan kekeuatan (use of force) serta beberapa tragedi perang belakangan ini turut pula mewakili bukti penting saat ini.
















BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
   Perkembangan isu global tidak akan lepas dari perkembangan manusia baik secara sosial, politik maupun dalam peradabannya secara global serta massif,
dewasa ini dapat dibagi dalam tiga pokok permasalahan yang menjadi perhatian atau keprihatinan dunia: pertama, yang merupakan tantangan (challenge) terhadap kewenangan negara, seperti masalah keamanan (security), demokratisasi, konflik etnik, asylum dan terorisme dan lain-lain; kedua, masalah yang berkaitan dengan  isu etis, dan normatif, misalnya tentang hak asasi manusia, agama, gender, hutang negara, dan moralitas dalam hubunga internasional; ketiga, yang merupakan isu praktis yang berhubungan dengan kepentingan kehidupan manusia, seperti: kesehatan, lingkungan hidup, olahraga, teknologi, perdagangan dan  lain-lain.
            Perang pasti menyiratkan penggunaan kekuatan atau tindakan kekerasan; keduanya tidak saling eksklusif. Namun kekerasan bukan perang kecuali dilakukan dalam nama sebuah entitas politik dan selanjutnya diarahkan terhadap entitas politik yang lain yang sama. Kasus perang Irak 2003-07 atau kata lainnya invasi AS dan sekutunya sejak tahun itu telah memberikan bukti nyata bahwa penggunaan kekuatan (militer) masih menjadi primadona di era globalisasi ini. Tidak bisa dipungkiri pula adanya kepentingan yang sangat mendasar di balik agresi AS dan sekutunya tersebut.
            Terlepas dari itu semua, dampak yang dihasilkan dari perang Irak dan mungkin banyak perang lainnya dewasa ini telah memunculkan kembali isu kebijakan global AS ke rah semi-konvensional di tengah arus isu global kontemporer  yang telah berkembang sejak dua dekade terakhir.     





DAFTAR PUSTAKA

Baylis, John, Steve Smith & Patricia Owens (2008). The Globalization of World Politics; An introduction to international relations.  New York: Oxford  University Press.
Barry, Buzan, Ole Waever, and Jaap de Wilde (1998).  Security: A New Framework for Analysis. Lynne Rienner Publisher.
Gerges, Fawaz A. (2002). Amerika dan Islam Politik, ( ter). Jakarta: AlvaBet.
Hermawan, Yulius P. (2007).  Transformasi dalam Studi Hubungan Internasional, Aktor,  Isu dan Metodologi. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Irsan, Abdul (2007). Indonesia di Tengah pusaran Globalisasi. Jakarta: Grafindo,.
Jackson, Robert & Georg Sorensen (2009). Pengantar Studi Hubungan Internasioanl. (terj), Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Jemadu, Aleksius (2008). Politik  Global dalam Teori & Praktik.  Yogyakrta: Graha Ilmu.
Rourke, John T. (2005). Intenational Politics on the World Stage. New York: Mc Graw Hill.
Smith, T. Lynn & Paul (1970). Demography: Principles and Methods. Philadelphia: F. A. Davis Company.
“Presiden-presiden Amerika Serikat”, Jakarta: Dinas Penerangan dan Kebudayaan Amerika Srikat, tt.
-------------
http://www.fas.org/
http://www.mindef.gov.sg/safti/pointer/back/journals/1999/Vol25
www.kompas.com
www.wikipedia.com



[1] Apabila kita memperhatikan suasana hubungan internasional sebelum memasuki  abad  ke-21, kondisi dunia lebih banyak didominasi oleh faktor  persaingan  kekuasaan politik dan kekuatan militer. Pada paruh abad ke-20 sudah mulai terjadi pergeseran nilai yang lebih cenderung cenderung  memberi  perhatian  pada hubungan antar manusia, hubungan dengan negara dan hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Selengkapnya lih. Abdul Irsan (2007).  Indonesia di Tengah Pusaran Globalisasi.  Jakarta: Grafindo, , hl. 146   
[2] Human Traffiking  Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) mendefenisikan hum a n   t r a f f i c k i n g   a t a u   p e r d a g a n g a n   m a n u s i a   s e b a g a i :   P e r e k r u t a n ,   p e n g i r i m a n , pemindahan, penampungan, atau penerimaan seseorang, dengan ancaman, atau penggunaan kekerasan, atau bentuk-bentuk pemaksaan lain, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, memberi atau menerima bayaran atau manfaat untuk memperoleh ijin dari orang yang mempunyai wewenang atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. (Protokol PBB tahun 2000 untuk Mencegah, Menanggulangi dan Menghukum Trafiking terhadap Manusia, khususnya perempuan dan anak-anak; Suplemen Konvensi PBB mengenai Kejahatan Lintas Batas Negara). Buka IDLO di http://www.idlo.int/bandaacehawareness.HTM
[3] Konsep senjata disini ialah senjata dalam bentuk small arms. Setidaknya ada empat karakteristik senjata untuk dikategorikan sebagai small arms yaitu portable, murah, durable dan tradeable . Hal inilah yang membuat bisnis perdagangan small arms menjadi mudah dan sangat pesat. Menurut data Small Arms Survey, setidaknya terdapat 639 juta pucuk senjata yang terdata di dunia. Sehingga ada lebih dari 1 buah senjata di tiap 12 orang di muka bumi ini. Lebih lanjut, jumlah ini belum termasuk kepemilikan senjata pribadi yang tidak terdata (documented) yang tersebar di berbagai negara besar.buka. http://harison86.wordpress.com/tag/perdagangan-senjata/
[4] Buzan, Barry, Ole Waever, and Jaap de Wilde (1998). Security: A New Framework for Analysis.  Lynne Rienner Publisher, tt,  hl. 184

[5] Lih. T. Lynn Smith & Paul (1970). Demography: Principles and Methods. Philadelphia: F. A. Davis Company, hl. 3
[6] Dikutip dari tulisan Goh Teck Seng “War an d Use of Force in Contemporary World”, coba buka: http://www.mindef.gov.sg/safti/pointer/back/journals/1999/Vol25_4/13.htm
[7] Irak terletak di sebelah Barat Daya Asia. Dahulu Irak dikenal dengan sebutan Mesopotamia kuno yang artinya daerah yang terletak antara dua sungai. Kawasan Irak menyimpan pelbagai masa gemilang dan sampai sekarang terus disenandungkan oleh para budayawan, seniman, dan ilmuan; mulai dari peradaban kuno Mesopotamia, Babilonia dengan taman gantungnya, dan Bagdad sebagai kota seribu satu malam Harun ar-Rasyid. Irak berpotensi menjadi sebuah negara terkaya di dunia, karena cadangan minyak bumi (nomor dua terbesar di dunia) dan gas alamnya yang melimpah. www.wikipedia.com
[8] Weapon of mass destruction (WMD) dicirikan dalam bentuk nuklir, biologi dan kimia yang memiliki kecenderungan untuk digunakan oleh militer nasional dalam suatu negara untuk memperkuat pasukan Negara tersebut. Lih. John T. Rourke (2005). Intenational Politics on the World Stage.  New York: Mc Graw Hill, 10th edition, hal. 328
[9] George W. Bush adalah Presiden AmerikaSerikat yang keempat puluh tiga. Lahir di New Haven, Connecticut, dan dibesarkan di Midland dan Houston. Ia dilantik pada 20 Januari 2004…selengkapnya lihat. “Presiden-presiden Amerika Serikat”, Jakarta: Dinas Penerangan dan Kebudayaan Amerika Srikat, tt, hl. 89-90
[10] Amerika Serikat melancarkan kampanye dan propaganda dalam rangka mendapatkan dukungan Internasional dan anggota NATO untuk menyerang Irak dengan isu dimilikinya, senjata pemusnah massal dan adanya keterkaitan Irak dengan jaringan teroris Al-Qaeda di Afganistan, bantuan dan dukungan Irak pada kegiatan pelatihan Teroris di Irak Utara. Atas tekanan dan desakan AS maka Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi Nomor 1441 tanggal 8 November 2002 tentang pelucutan senjata pemusnah massal yang diduga dimiliki Irak. Resolusi PBB tersebut kurang mendapat respon dan tanggapan dari Irak, sehingga AS menganggap perlu menindak Pimpinan Irak dengan melakukan invasi ke Irak guna menggulingkan Pemerintahan Saddam Hussein. Pada tanggal 18 Maret 2003 Presiden Bush mengeluarkan ultimatum, bahwa Presiden Saddam Hussein dan keluarganya harus meninggalkan Irak dalam tempo 2 X 24 jam atau menghadapi serangan AS dan Sekutunya. Presiden Bush, Rabu (19/3) malam waktu Washington atau Kamis (20/3) pagi WIB, menyampaikan pidato tentang perang ke Irak dimulai. "Pasukan Amerika dan koalisi sudah melancarkan operasi militer untuk melucuti senjata Irak, untuk membebaskan rakyat dan melindungi dunia dari ancaman bahaya," kata Presiden Bush  (BBC.com/O-1), Pada tanggal 20 Maret 2003 Rudal jelajah Tomahawk yang diluncurkan dari kapal perang AS di sekitar Teluk mulai menghantam sasaran-sasaran strategis di Irak yang diikuti jet pembom siluman F-117 Nighthawk yang  lepas landas dari Qatar dan Oman.  Baca.  Kompas 21 Maret 2003, atau buka Kompas.com.
[11] Post-modern war  sebenarnya mengacu pada istilah yang kental dengan tatanan masyarakat secara global, seperti negara dan bangsa, nasional dan identitas sebuah bangsa . hal ini dimungkinkan juga akan menimbulkan efek domino bagi keberlangsungan hidup manusia.  sebagaimana doktrin Karl von Clausewitz, seorang jendral Prussia. Ajaran utama doktrin Von Clausewitz adalah subordinasi perang terhadap tujuan-tujuan politik. Pengaruh para politisi harus lebih menonjol dari pengaruh para jendral. Von Clausewitz dengan jelas membatasi peranan wakil-wakil militer didalam kabinet, yaitu hanya sebagai penasehat teknis; partisipasi para wakil tersebut dalam proses pembuatan keputusan tidak boleh terlalu besar. Pendeknya bagi Clausewitz aksi militer tidak bisa dipisahkan dari politik. Ibid. hl. 219-220
[12] New war di sini oleh Mary Kaldor diasumsikan sebagai perang  yang muncul sejak pertengahan tahun 1980-an  yakni globalisasi yang mempunyai dampak signifikan bagi makin banyaknya aktor-aktor dalam pemerintah, dan  kontradiksi antara proses integrasi dan fragmentasi, homogenitas dan difersifikasi serta globalisasi dan lokalisasi. Selebihnya lih. John Baylis, Steve Smith & Patricia Owens (2008) The Globalization of World Politics; An introduction to international relations.  New York: Oxford  University Press, 4th edition, hl. 221  
[13] Fawaz A. Gerges (2002). Amerika dan Islam Politik, ( ter). Jakarta: AlvaBet, hl. 5.  Konsep keamanan tradisional dipengaruhi sangat kuat oleh perspektif realisme dan neo-realisme Perspektif itu ebih menitikberatkan pada konsepsi keamanan konvensional yang berbasis kekuatan militer untuk menjawab ancaman yang ada. Artinya, perspektif itu tersebut mengandaikan kondisi dunia yang anarkis dan cenderung self-help sebagaimana diandaikan neo-realisme Dalam konteks yang lebih kontemporer, paradigma keamanan berbasis eksistensi umat manusia. Penggunaan militer yang menjadi icon “penjaga keamanan negara-bangsa”, setelah perang dingin mengalami transformasi. Konflik bipolar dalam politik internasional tidak lagi eksis. Kini, masing-masing negara-bangsa sibuk dengan problem kewargaan yang berada dalam negara masing-masing. Pernyataan ini juga sama seperti apa yang dikemukakan oleh Morgenthau Lih. Robert Jackson & Georg Sorensen (2009). Pengantar Studi Hubungan Internasioanl. (terj), Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cet. III, hl. 99-110.
[15] http://www.fas.org/sgp/crs/terror/RL32217
[16] Lih John Baylis, Steve Smith, Patricia Owens, Op, cit,  hl. 212
[18] http://www.whitehouse.gov/infocus/iraq/President Visits Mississippi, Discusses Gulf Coast Reconstruction.
[19] Dalam hubungan internasional penggunaan kekuatan militer untuk mencapai tujuan kebijakan luar negeri harus disesuaikan dengan ketentuan  yang berlaku dalam  hukum internasional. Lih. Aleksius Jemadu (2008). Politik  Global dalam Teori & Praktik.  Yogyakrta: Graha Ilmu, hl. 146-147
[20] Yulius P. Hermawan  (2007). Transformasi dalam Studi Hubungan Internasional, Aktor,  Isu dan Metodologi. Yogyakarta: Graha Ilmu, , hl. 137

Tidak ada komentar:

Posting Komentar