Sabtu, 21 Mei 2011

Gender Di Indonesia


NAMA                        : charis ma’nawi
NIM                            : 20808300028
JURUSAN                  : Hubungan Internasional
TEMA                         : Gender Di Indonesia
Menurut Ilmu Sosiologi dan Antropologi, Gender itu sendiri adalah perilaku atau pembagian peran antara laki-laki dan perempuan yang sudah dikonstruksikan atau dibentuk di masyarakat tertentu dan pada masa waktu tertentu pula. Hubungan gender berbeda dari waktu ke waktu, dan antara masyarakat satu dengan masyarakat lain, akibat perbedan suku, agama, status sosial maupun nilai tradisi dan norma yang dianut. Seperti masyarakat kultur tertentu dengan masyarakat kultur lainnya, masyarakat pedesaan dengan masyarakat perkotaan.
Selain berbicara mengenai kesetaraan, gender sendiri acap kali dikaitkan dengan kekerasan terhadap perempuan. Apabila pemahaman kita mengenai gender dan kekerasan terhadap perempuan dihadapkan dengan pengalaman kita menangani kasus-kasus di indonesia, baik yang terjadi dalam lingkup rumah tangga, pergolakan politik, maupun dalam situasi konflik bersenjata, kita akan mampu melahirkan langkah-langkah konkrit untuk mencegah keberulangan yang sesungguhnya bertumpu pada upaya mendorong pemenuhan hak-hak korban atas kebenaran, keadilan, serta pemulihan.Kompleksitas pengalaman perempuan yang menjadi korban dimana ini melatarbelakangi terjadinya kekerasan terhadap perempuan menuntut kita untuk mempertimbangkan beberapa prinsip dasar.
pertama, kerja-kerja untuk mendorong pengungkapan kebenaran, penegakan keadilan dan pemulihan sebaiknya dilaksanakan secara integratif karena pemenuhan hak korban atas kebenaran, keadilan dan pemulihan merupakan satu kesatuan yang saling mempengaruhi.Walaupun ada kecenderungan untuk menetapkan satu logika kerja berurutan yang menuntut kesempurnaan satu tahapan, misalnya pengungkapan kebenaran dulu sebelum menuntut keadilan dan pemulihan ataupun sebaliknya, dalam kenyataan kerja yang satu tidak selalu bisa atau perlu menunggu penuntasan kerja yang lain.
kedua, kita perlu membuka ruang seluas-luasnya yang memungkinkan interaksi antar korban dan pendamping dari berbagai kasus kekerasan,dan antar kalangan yang secara langsung pun tidak terlibat dalam kegiatan-kegiatan pembelaan HAMagarterjadi proses pembelajaran bersama untuk memahami struktur penindasan terhadap perempuan secarameneluruh dan membangun silidaritas antar kelompok-kelompok dalam masyarakat yang m,enginginkan perubahan sosial.
ketiga, walaupun tuntutan utama dari pekerjaan kita adalah pertanggung jawaban negara atas kebijakan-kebijakan yang telah menghancurkan kehidupan perempuan, kita harus mempertimbangkan upaya-upaya yang dilakukan dan capain yang diperoleh di tingkat lokal sebagai bagian penting dari keseluruhan kerja di tingkat nasional. Sebaliknya, pekerjaan ditingkat lokal juga perlu memperahatikan dan memanfaatkan capaian di tingkat nasional untuk memperkaya dan memperkuat pijakat ditingkat lanjut. 
keempat, kita harus senantiasabersikap kritis terhadap setiap mekanisme penyelesian pelanggaran HAM terhadap perempuan yang diusulkan kepadadan yang ditawarkan oleh pemerintah. Namun sikap kritis ini juga harus berangkat dari pemahaman yang utuh akan opemikiran dasar yang melatarbelakangi lahirnya setiap mekanisme dan pandangan korban tentang makna kebenaran, keadilan dan pemuilihan. Mempertentangkan satu mekanisme dengan mekanisme ditingka teknis dan prosedural semata akan menjebak kita dalam debat kusir berkepanjangan yang seringkali membingungkan korban dan mengaburkan tujuan utama untuk mencapai kesepakatan sosial baru yang lebih adil dan manisiawi.            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar