Bab I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Masalah
1.2 Rumusan Masalah
§ Apa penyebab perang irak kwait ?
§ Apa dalih yang digunakan AS dalam intervensinya pada perang irak kwait dan apa kepentingan intervensi AS dalam perang irak kwait ini ? indikasi adanya using force dalam intervensi AS.
§ Bagaimana Penyelesaian Konflik dan adakah Peran Dunia Internasional dalam penyelesaiannya ?
1.3 Kerangka Konseptual
1.4 Kerangka Teoritis
Bab II
Pembahasan
2.1 Pengertian Intervensi
2.1.A Landasan teoritis just war
2.1.B Ham dan Hukum Humaniter
Bab III
Study Kasus
Kondisi dunia internasional pasca Perang Dingin
Perang antar Irak dan Kwait
Nilai penting negara-negara Teluk Persia dan Timur Tengah bagi Amerika Serikat dan bentuk Intervensi Use of Force AS yang melanggar HAM.
Penyelasaian Konflik dan Peran Dunia Internasional
Bab III
Kesimpulan
1.4 Kerangka Teoritis
Teori adalah suatu pandangan atau persepsi tentang apa yang terjadi. Jadi berteori adalah “pekerjaan menonton”, yaitu pekerjaan mendeskripsikan apa yang terjadi, menjelaskan mengapa itu terjadi dan mungkin juga meramalkan kemungkinan berulangnya kejadian itu di masa depan.[1] Maka berkaitan dengan penulisan ini, dalam menganalisa permasalahan dapat menggunakan landasan Hukum Humaniter. Definisi Hukum Humaniter didevinisikan menjadi dua defininsi[2], hukum humaniter dalam arti sempit dan hukum humaniter dalam arti luas. Dalam arti sempit hukum humaniter adalah keseluruhan asas, kaidah dan ketentuan hukum yang mengatur tentang perlindungan korban perang sengketa bersenjata, sebagaimana diatur dalam konvensi jenewa 1948. Sedangkan dalam arti luas adalah kaseluruhan asas, kaidah dan ketentuan hukum internasional, baik tertulis maupun tidak tertulis yang mencakup hukum perang dan Hak Asasi Manusia yang bertujuan menjamin penghormatan terhadap harkat dan martabat pribadi seseorang. (A. Masyhur Effendi, 1994 : 24)
Menurut J. Pictet, human terkait dengan manusia yang memiliki konotasi dengan orang yang bersikap baik (tahu tata krama)dalam mengadakan hubungan dengan orang lain, semua tindakan dikatakan baik, bilamana dilandasi dengan kejujuran, kegunaan, kebaikan seta kejelasan. Humanity terkait dengan perasaan atau sikap mental seorang yang ditunjukkan (dibawakan) oleh yang bersangkutan sebagai seorang human atau a sentiment of active goodness towords mankind.
Humanitarian merupakan penggambaran setiap tindakan yang ramah kepada setiap orang. Dalam kaitannya dengan humanitarian law, humanitarian diartikan (secara filosofis) sebagai human yang menjamin perlakuan hormat terhadap setiap individu. Sedangkan humanitarisme merupakan ajaran sosial/moral bersifat universal yang bertujuan baik kepada sesama umat mausia (J. Pictet, hl, 13 sampai dengan 15, dalam A. Masyhur Effendi, 1994 : 45)[3].
Dari konsep tersebut terbukti bahwa human (istilah dari barat) dengan segala makna/jabarannya, unsure kemanusiaan menjadi menonjol. Perlakuan seperti ini memerlukan kematangan sikap mental/jiwa dan keluasan wawasan seseorang sehingga memiliki toleransi tinggi, melebihi sikap mental yang sekedar melaksanakan aturan hokum yang ada.Landasan hokum humaniter tersebut sekaligus tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam, Kristen, Hindu, Budha beserta ajaran/kepercayaan lainnya. Dari perspektif tersebut, hokum humaniter mendapat dukungan luas, karena menurut J. Pictet “…humanitarian law appears to combine two ideas of a different character, the one legal and the other moral…”. Prinsip hokum humaniter pada intinya menghormati manusia seutuhnya, terutama dikala perang.
Syarat diskriminasi mengaharuskan prajurit untuk tidak melakukan kekerasan da lam bentuk apapun terhadap kelompok non-tempur seperti masyarakat sipil, pengungsi, pasukan kesehatan, pasukan yang terluka dan atau tidak dapat bertempur, dan pasukan yang telah menyerahkan diri. Kelompok non tempur mendapat imunitas khusus dari segala bentuk kekerasan yang terjadi selama pertempuran berlangsung. Untuk melindungi imunitas tersebut, syarat diskriminasi juga memungkinkan diadakannya intervensi kemanusiaan atau bahkan intervensi miter dari actor ketiga untuk menghentikan segala bentuk kekerasan yang dilakukan pihak-pihak bertikai terhadap kelompok non-tempur. (Widjayanto, 2000: 2).
Syarat proporsionalitas mengharuskan perancang strategi dan taktik perang untuk mengalkulasikan biaya dan kerusakan yang timbul akibat perang. Suatu peperangan dikatakan proporsionalitas jika kebaikan yang diharapkan muncul saat perang selesai (pihak aggressor dikalahkan) lebih besar daripada kerusakan yang terjadi selama perang berlangsung.[4] Prinsip proporsionalitas ditujukan agar perang atau penggunaan senjata tidak menimbulkan korban, kerusakan dan penderitaan yang berlebihan yang tidak berkaitan dengan tujuan-tujuan militer (the unnecessary suffering principles).
Teluk Persia menjanjikan ladang minyak baru bagi dunia pada masa Perang Dunia dan memberi suplai netral pada dunia. Pada 1909 Perusahaan Minyak Anglo Persia (APOC) pertama kali mulai membangun pipa untuk mentransportasikan minyak dari sumurnya ke pelabuhan terdekat di Teluk Persia.
Merebaknya Perang Dunia Pertama di tahun 1914 membawa dunia pada permintaan minyak yang tinggi karena Angkatan Bersenjata mulai merubah kapal perang mereka dari yang berbahan bakar batu bara ke bahan bakar minyak. Serta karena mereka mulai menambahkan truk, tank, dan pesawat dalam peperangan mereka.
Setelah perang berakhir, permintaan terhadap minyak semakin bertambah hingga Perang Dunia II mencapai 900 persen dari 21 tahun yang lalu, yang membawa Amerika Serikat pada sentakan geostrategi pertama atas kawasan Teluk Persia yang merupakan daerah suplai minyak potensial. Pada tahun 1944, dalam laporan teknikal pemerintahan, Amerika melabeli Teluk Persia sebagai “pusat gravitasi” bagi perkembangan minyak. Juga tentunya, kawasan Timur Tengah bagi Amerika itu sendiri merupakan kawasan yang strategis, baik dilihat dari kaca mata kepentingan ekonomi dimana ada sumber minyak yang melimpah, maupun dari kacamata politik dimana ada Israel (anak emas). Persoalan-persoalan di Timur Tengah selalu mencatatkan keterlibatan Amerika dengan porsi yang besar, oleh karena itu, sangat logis bila ada pandangan bahwa proyek besar dari ekspansi ekonomi politiknya Amerika Serikat berada di Timur tengah.
Kawasan timur tengah selalu mencatatkan campur tangan Amerika yang terlalu dalam, hal ini sepertinya membuktikan asumsi bahwa kawasan itu adalah kawasan strategis bagi kepentingan AS itu sendiri, karena beberapa hal;
Pertama, keberadaan Israel sebagai kongsi politik terdekat AS di timur tengah, oleh karena itu Amerika Serikat berusaha keras menjaga dan melindungi eksistensi politik Israel sebagai representasi wajah Amerika Serikat di Timur Tengah. Apapun yang dikerjakan di timur tengah, dipastikan keberadaaan Israel dengan tindak tanduk teroristiknya tidak akan di ganggu gugat. Tentu banyak yang mempengaruhi kongsi politik tersebut. Lobi kuat, penguasaan sumber ekonomi, sumbangan finansial dan penguasaan jaringan teknologi, informasi dan media sebagian besar dikuasai oleh Yahudi.
Kedua, kawasan timur tengah itu sendiri yang kaya dan sarat dengan sumber daya alam terutama minyak bumi. Dan Amerika Serikat merupakan pengimpor dan pengkonsumsi minyak terbesar didunia. Kawasan minyak tersebut sangat strategis dari kaca mata kepentingan ekonomi, terutama suplai minyak. Akhir-akhir ini dicatat cadangan minyak AS hanya mencapai 22 milyar per barel atau sekitar 2% saja dari cadangan minyak dunia. Hal ini menunjukan terus berkurangnya cadangan minyak AS. Sekarang AS merupakan pengimpor minyak terbesar didunia, sekaligus memiliki kekuatan militer terbesar di dunia. Sehingga kedua realitas tersebut saling bertautan dan muara pertautan tersebut bertemu di Timur Tengah yang kaya akan minyak.
Kuburan Massal Ditemukan
Sebuah kuburan masal yang ditemukan di markas organisasi Mujahedin-e Khalq (Mujahedin-e Khalq Organization – MKO) di Irak mengungkapkan teka-teki Perang Teluk tahun 1991. Petugas polisi di propinsi Diyalah mengatakan bahwa kuburan masal itu berisi jenazah warga Kuwait yang menjadi korban invasi rezim Baath selama tujuh bulan di Kuwait.
……………. ………… ………….. serangan militer besar-besaran terhadap pasukan Irak ditempatkan di Kuwait pada pertengahan Januari 1991. Pada bulan Januari 16, pesawat Sekutu menargetkan Irak beberapa situs militer dan Angkatan Udara Irak dikatakan "hancur". [37] Permusuhan dilanjutkan sampai akhir Februari dan pada tanggal 25 Februari Kuwait secara resmi dibebaskan dari Irak. [38] Pada 15 Maret 1991, Emir Kuwait kembali ke negara itu setelah menghabiskan lebih dari 8 bulan di pengasingan. [39] Selama pendudukan Irak, sekitar 1.000 Kuwait warga sipil tewas dan lebih dari 300.000 penduduk lari dari negeri itu. [40]
Gencatan Senjata Perang Teluk Dimulai
Pada tanggal 27 Februari 1991 pasukan Koalisi berhasil membebaskan Kuwait. 28 Februari 1991, setelah Perang Teluk berlangsung selama 40 hari, Presiden AS, George Bush, mengumumkan gencatan senjata. Perang Teluk meletus akibat invasi Irak ke Kuwait tahun 1990. Atas resolusi dari PBB, pasukan multinasional di bawah pimpinan AS menyerang Irak dan meletuslah Perang Teluk. Setelah dilakukan gencatan senjata, dimulailah perundingan antara negara-negara koalisi dan Irak, yang hasilnya, Irak bersedia menerima resolusi Dewan Keamanan PBB. Setelah itu, PBB juga memberlakukan embargo ekonomi terhadap rezim Saddam, namun yang menjadi korban utama adalah rakyat sipil dan anak-anak Irak yang kekurangan makanan dan obat-obatan akibat embargo tersebut.
Adapun tindakan intervensi tersebut adalah:
1. Intervensi kolektif yang ditentukan dalam piagam PBB.
2. Untuk melindungi hak dan kepentingan, serta keselamatan warga negaranya di negara lain.
3. Berhubungan dengan negara protektorat atas dominionnya.
4. Jika negara yang akan diintervensi dianggap telah melakukan pelanggaran berat atas hukum internasional[5].
Jika mengikuti klasifikasi legalitas yang dipergunakan oleh Starke, maka doktrin intervensi tidak sepenuhnya terlarang. Ada celah yang diberikan dalam mekanisme hukum internasional dalam melegalisasi sebuah intervensi.
Dalam klasifikasi yang dibuat oleh Starke, intervensi kemanusiaan dapat dimasukkan dalam klasifikasi yang terakhir. Apabila sebuah negara telah melanggar hak asasi manusia (sistematis dan terstruktur), maka negara tersebut dapat dikategorikan telah melakukan pelanggaran berat terhadap hukum internasional. Perlindungan hak asasi manusia dalam relasi antarnegara saat ini merupakan sebuah komitmen bersama.
HAM merupakan masalah dunia internasional, bukan hanya masalah internal dari suatu Negara, kareananya pengetahuan hukum internasional, politik internasional, dan hubungan internasional menjadi penting untuk diketahui.
Hukum internasional sebagai satu bagian dari hukum pada umumnya, didalam “dirinya” mengalir ide, pemikiran, cita-cita, yang sama dengan hukum pada umunya. Hukum internasional pun mengenal asas/ ide/ cita-cita dan prinsip yang banyak mengambil dari asas hukum Romawi kuno, hukum alam, maupun asas hukum lain[6].
Asas sebagaimana dikemukakan Satjipto Raharjo, merupakan alasan lahirnya peraturan hokum/ ratio leges/ maksud undang-undang. Dalam asas terkandung nilai dan tuntutan etis. Hokum alam/ Romawi banyak digunakan sebagai dasar/ landasan hokum internasional. Asas tersebut antara lain asas pacta sun servanda (asas saling menghormati atas persetujuan atau perjanjian yang telah disepakati), asas bonavida (asas i’tikad baik), asas reciprocity (asas timbale balik), assas et aeguo et bono (asas berdasarkan keadilan), asas clausula sic stantibus/ ceteris paribus (asas persetujuan hanya berlaku bila keadaannya tetap sama/ tidak berubah).